Kamis, 26 April 2012


Sektor konstruksi adalah salah satu sektor utama pendorong pembangunan nasional dan memberikan kontribusi sekitar 7-8% dari PDB, serta menyediakan lapangan kerja bagi 4-5% penduduk.
Pengaturan yang komprehensif untuk sektor ini mulai diperkenalkan melalui Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18 Tahun 1999. Berbagai perdebatan mengenai definisi dan lingkup ”jasa konstruksi” masih terus berlangsung, namun UUJK secara spesifik memberi batasan pengaturan terhadap jasa konstruksi yaitu layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Serta yang dimaksud dengan ”pekerjaan konstruksi” adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
UUJK memiliki tiga tujuan yaitu:
  1. memberikan   arah  pertumbuhan   dan  perkembangan  jasa  konstruksi   untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;
  2. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.
Upaya mencapai tujuan pertama salah satunya dilakukan melalui peningkatan profesionalisme pelaku yaitu persyaratan sertifikasi perusahaan, keahlian kerja, dan ketrampilan kerja. Hal lain yang diamanahkan UUJK adalah terciptanya kemitraan yang sinergis antara usaha yang besar, menengah, dan kecil serta antara usaha yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu.
Dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, para pelaku wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat. Kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban diupayakan dengan pengaturan kontrak konstruksi yang menggunakan kaidah pengikatan yang standar dan juga mempertimbangkan kaidah internasional.
Sedangkan peningkatan peran masyarakat diatur melalui Forum Jasa Konstruksi, serta peran pengembangan dilaksanakan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri yang dikenal sebagai Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) di tingkat nasional dan daerah.
Pengaturan jasa konstruksi dengan tiga tujuan tersebut telah berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun. Dengan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum, telah banyak kemajuan yang dicapai oleh sektor konstruksi nasional. Namun demikian, implementasi pengaturan yang disusun berlandaskan pada berbagai asas mulia ini (kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara), pada kenyataannya  masih jauh dari harapan. Kerjasama yang sinergis antara usaha besar, menengah dan kecil, serta antara usaha yang bersifat umum dan spesialis belum terbentuk; sistem sertifikasi tenaga kerja sudah lebih baik, namun belum sepenuhnya mencerminkan kompetensi secara obyektif; serta kualitas konstruksi yang masih rendah adalah beberapa hal yang menjadi tantangan pengembangan jasa konstruksi nasional.

Minggu, 04 Maret 2012