Sektor konstruksi adalah salah satu sektor utama pendorong
pembangunan nasional dan memberikan kontribusi sekitar 7-8% dari PDB, serta
menyediakan lapangan kerja bagi 4-5% penduduk.
Pengaturan yang komprehensif untuk sektor ini mulai
diperkenalkan melalui Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18 Tahun 1999.
Berbagai perdebatan mengenai definisi dan lingkup ”jasa konstruksi” masih terus
berlangsung, namun UUJK secara spesifik memberi batasan pengaturan terhadap
jasa konstruksi yaitu layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa
konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Serta yang dimaksud dengan
”pekerjaan konstruksi” adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan
arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing
beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
UUJK memiliki tiga tujuan yaitu:
- memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;
- mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.
Upaya
mencapai tujuan pertama salah satunya dilakukan melalui peningkatan
profesionalisme pelaku yaitu persyaratan sertifikasi perusahaan, keahlian
kerja, dan ketrampilan kerja. Hal lain yang diamanahkan UUJK adalah terciptanya
kemitraan yang sinergis antara usaha yang besar, menengah, dan kecil serta
antara usaha yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu.
Dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, para pelaku
wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan
kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat.
Kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban
diupayakan dengan pengaturan kontrak konstruksi yang menggunakan kaidah
pengikatan yang standar dan juga mempertimbangkan kaidah internasional.
Sedangkan peningkatan peran masyarakat diatur melalui Forum
Jasa Konstruksi, serta peran pengembangan dilaksanakan oleh suatu lembaga yang
independen dan mandiri yang dikenal sebagai Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi (LPJK) di tingkat nasional dan daerah.
Pengaturan
jasa konstruksi dengan tiga tujuan tersebut telah berlangsung selama lebih dari
sepuluh tahun. Dengan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini
Departemen Pekerjaan Umum, telah banyak kemajuan yang dicapai oleh sektor
konstruksi nasional. Namun demikian, implementasi pengaturan yang disusun
berlandaskan pada berbagai asas mulia ini (kejujuran dan keadilan, manfaat,
keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan
keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara), pada kenyataannya
masih jauh dari harapan. Kerjasama yang sinergis antara usaha besar, menengah
dan kecil, serta antara usaha yang bersifat umum dan spesialis belum terbentuk;
sistem sertifikasi tenaga kerja sudah lebih baik, namun belum sepenuhnya
mencerminkan kompetensi secara obyektif; serta kualitas konstruksi yang masih
rendah adalah beberapa hal yang menjadi tantangan pengembangan jasa konstruksi
nasional.